Cidomo, dokar, benhur dan sebagainya diakui sangat membantu bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Mahasiswa yang merantau, salah satu pelanggan tetap transportasi ini. Demikian pula dengan pedagang-pedagang di pasar-pasar tradisional, cidomo masihmenjadi favorit mereka.Selain mampu mengangkut banyak barang dagangan, cidomo juga bisa masuk hingga gang-gang sempit. Cidomo juga menjadi pilihan transportasi lanjutan yang bisa mengantar penumpang hingga ke depan pintu rumah. Penumpukan alat transportasi ini terkonsentrasi di tempat-tempat keramaian terutama di pasar-pasar tradisional. Tidak jarang, cidomo terlihat semrawut dan agak mengganggu kelancaran lalu lintas. Jumlah besar terkonsentrasi di pasar Kebon Roek, pasar Sweta, pasar Ampenan, pasar Cakranegara, pasar Pagesangan, dan di tempat-tempat keramaian lainnya. “Yang paling semrawut terdapat di Pasar Kebon Roek Ampenan dan Pasar Sindu Cakranegara,” kata
Drs.Anis Masyur, Kepala Dinas Perhubungan Kota Mataram.
Kurang disiplinnya kusir adalah faktor pemicu terjadinya kesemrawutan tersebut. Untuk itulah, Dinas Perhubungan Kota Mataram, senantiasa memberikan pembinaan kepada kusir cidomo yang kerap melanggar ketentuan atau disiplin. Setiap tahun, kata Anis, cidomo-cidomo di kota Mataram dibekali dengan tempat penampungan kotoran kuda atau kantong kotoran dan sekop, agar jangan sampai kotoran tersebut mengotori jalan raya.
Namun demikian, di jalan raya kota Mataram memang masih terlihat kotoran kuda berserakan di mana-mana. Kesadaran yang kurang dari kusir cidomo inilah yang seringkali dikeluhkan dinas ini. Termasuk kesadaran membayar retribusi atau SIM (surat izin mengemudi) yang masih banyak tidak dibayarkan kusir. “Padahal, hanya Rp 5 ribu setahun,” kata Lalu Lukman, Kasi Kendaraan dan Perbengkelan yang juga mengurus angkutan cidomo, Dinas Perhubungan Kota Mataram.
Demi keselamatan penumpang, dinas ini rajin melakukan razia langsung di jalan raya, mengingat banyak kusir-kusir kecil yang belum mendapatkan SIM mengemudikan kendaraan kuda ini.
Penghasilan yang makin menurun, diakui beberapa kusir cidomo, membuat mereka terbilang teledor untuk membayar retribusi ini. Ditambah lagi karena hanya sekali setahun, tidak jarang lupa. Jika beberapa tahun lalu, kata Ruji, salah seorang kusir cidomo dalam kota, yang melayani rute kos-kosan sekitar Unram, penghasilannya bisa mencukupi biaya hidup keluarganya secara sederhana. Namun, sekarang jauh menurun, kadang tidak ada sama sekali, katanya tak menyebut jumlah. Karena tidak punya lahan penghasilan lain, ia tetap menjadi kusir cidomo.
Penghasilan tersebut bukan hanya untuk membiayai keluarga saja melainkan harus juga ia sisihkan untuk membeli makanan dan merawat kudanya. Biaya perawatan dan makan kuda yang hampir sama dengan biaya keluarganya, juga mengambil porsi pengeluaran hariannya. Tapi, ia merasa tetap bersyukur karena mampu hidup bersama istri dan kedua anaknya, sesederhana mungkin.
Jarak tempuh cidomo pendek-pendek. Hal ini disebabkan karena diputus oleh jalan-jalan utama yang tidak membolehkan kendaraan tradisional ini lewat. Tentu saja, ongkos setiap penumpang berkisar antara Rp 1.000 hingga Rp 1.500 saja. Satu cidomo penuh hanya bisa mengangkut 6-7 penumpang. Sekali jalan dengan penumpang penuh, menghasilkan ongkos sebesar Rp 7 ribu. “Itu kalau penuh. Sangat jarang mendapatkan penumpang penuh sekali jalan,” kata Malik, kusir lainnya.
Meskipun jarak yang ditempuh hanya hitungan menit, tidak lantas seharian penuh dipakai untuk bolak-balik. Di samping mengistirahatkan kuda, juga penumpang cidomo di tahun-tahun terakhir ini semakin menurun, kata Malik. Kebanyakan cidomo beroperasi siang hari saja, mulai pukul tujuh pagi hingga menjelang magrib. Beberapa di antaranya, ada juga mengantar penumpang hingga sekitar pukul delapan malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar